Hukum untuk Hak Penyandang Disabilitas harus ditegakkan

I Gede Widiasa adalah seorang suami dan ayah dua orang anak, bekerja sebegai tukang pijat di Denpasar dan hidup dengan penglihatan yang terbatas sejak ia kecil. Setelah bergulat dengan demam diusia dua tahu, Widiasa kehilangan sebagian penglihatannya.

Widiasa bekerja keras untuk menghidupi keluarganya seperti orang Bali pada umumnya tetapi Penyandang Disabilitas lainnya termasuk dirinya sangat sulit mendapat pekerjaan, memasuki gedung atau menggunakan kendaraan umum.

“Kami memerlukan pemerintah  membuat aturan untuk  Penyandang Disabilitas, jadi bangunan bisa akses untuk Penyandang Disabilitas tentu saja kendaraan umum, bandara dan rumah sakit,’’ Ujarnya.

160 orang telah menandatangani konvensi PBB tentang hak Penyandang Disabilitas (CRPD), yang menegaskan kembali semua jenis Disabilitas harus mendapatkan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.

Tahun 2011, Pemerintah Indonesia meratifikasi CRPD dan Undang-undang Disabilitas (PERDA) diperkenalkan di provinsi bali pada Oktober 2015.

Tetapi hukum hanya nama, dan jika tidak ditegakan atau diatur.

Untuk orang tua yang menghadapi diskriminasi ketika anak mereka dengan disabilitas didaftarkan disekolah umum atau Penyandang Disabilitas mencari pekerjaan tetapi mereka diabaikan, mereka tidak berdaya apabila tidak ada hukum yang kuat mengatur.

Bali adalah tujuan wisata tertinggi di dunia tetapi sebagian besar tidak dapat diakses oleh penghuninya dan wisatawan dengan disabilitas.

PUSPADI Bali baru-baru ini mengadakan pertemuan untuk mendorong pengesahan rancangan peraturan gubernur turunan dari  PERDA No. 9/2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas (Undang-Undang Daerah) , mengundang tokoh-tokoh kunci seperti  Dinas Sosial, dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendidikan, Ibu Dwi dari Konsultan Disability Rights Fund, Karen Reyes dari UCP Wheels for Humanity (di Amerika) dan Perwakilan Penyandang Disabilitas.

“Walaupun di Bali ada PERDA, jika tidak ada peraturan gubernur untuk menerapkan undang-undang tersebut tidak akan berarti apa-apa,’’ ujar Dwi Ariyani.

“Dari pertemuan tersebut, membahas mengenai rencana kedepan membentuk komite pengawas independen mengenai disabilitas yang memiliki hubungan yang baik dengan pemerintah dan Penyandang Disabilitas, sehingga PERDA dapat diperkuat,’’ Ujar Ibu Dwi.

Dwi Ariyani (paling kanan) dari Dana Hak-hak Penyalahgunaan berbicara pada pertemuan tersebut dengan Direktur PUSPADI Bali I Nengah Latra (paling kiri) dan pejabat pemerintah Bali.

Harapannya komite tersebut secara langsung mempengaruhi pemerintah mengalokasikan dana Penyandang Disabilitas untuk rehabilitasi, pendidikan, pelatihan dan memperbaiki akses dibidang infrastruktur.

“Ini sangat sulit karena orang-orang mengatakan, iya untuk undang-undang mengenai akses Pendidikan, bangunan ataupun ruang publik, tetapi pelaksanaanya dimana?,’’ ujar Ibu Dwi.

“Dengan adanya Pergub dan Surat keputusan Gubernur yang berlaku, seseorang dengan disabilitas yang mengalami kekerasan atau masalah dalam mengakses pendidikan di Provinsi Bali dapat menemui Komite untuk mengatasi hal tersebut.’’

Lebih jauh lagi, Direktur PUSPADI Bali dan Organisasi Penyandang Disabilitas lainnya meminta skema asuransi kesehatan yang bisa diakses oleh orang Bali dan Indonesia (yang secara langsung mencakup orang-orang Disabilitas dan kebutuhan mereka).

“Kami berkomitmen untuk memberikan rehabilitasi dan juga membantu lebih dari 4.500 Penyandang Disabilitas di Bali dan Indonesia Timur namun ada kebutuhan besar akan kesehatan juga pekerjaan untuk meningkatkan kualitas hidup dan meringankan beban Penyandang Disabilitas, “ujar I Nengah Latra, Direktur PUSPADI Bali.

Pada pertemuan tersebut, Pemerintah Bali mengatakan bahwa mereka akan membahas rancangan akhir draft (termasuk usulan komite) yang diajukan terlebih dahulu dan harus selesai sebelum tahun depan.

(Foto hak cipta (kiri): Harjono Djoyobisono).