Menginjak umur 12 tahun, Okta harus menjadi layaknya orang dewasa lebih cepat setelah ayahnya lumpuh karena terjatuh dari pohon nangka di rumahnya yang terletak di kabupaten Karangasem, Bali Timur.
Masih sebagai siswa sekolah menengah dan setelah ibunya memutuskan untuk berpisah dengan keluarga, Okta kemudian harus menjadi orang yang bertanggung jawab penuh untuk merawat ayahnya yang masih belum mampu bergerak dan hanya berbaring di kamar selama tiga tahun, menutup diri dari dunia luar.
Tak lama kemudian, tim PUSPADI Bali menemukan mereka dan memberikan kursi roda untuk ayahnya serta memfasilitasi Okta agar bisa tetap melanjutkan pendidikan, yang mana menjadi sebuah awal atau benih harapan bagi keluarganya untuk merubah kehidupan menjadi lebih baik.
Okta sekarang bekerja sebagai staff teknisi di Bengkel Prosthetics & Orthotics PUSPADI Bali, jadi dia mampu berkontribusi untuk Organisasi yang telah membantu ayahnya dan juga memberi harapan kepada para penyandang disabilitas.
Pada peringatan #HariAnakPerempuanInternasional, kami hadir bersama Okta dan perempuan muda inspiratif lainnya, jadi mereka bisa diberdayakan dan sukses di dunia pendidikan, pekerjaan maupun di masyarakat.
Berikut merupakan kisah seorang Okta.
Hari ketika kehidupan kami berubah
Menurut saya kehidupan adalah bagaimana kamu bisa merasakan kebahagiaan, kesedihan, dan saya sudah begitu dalam menjalaninya.
Ketika saya masih sebagai seorang anak perempuan yang dibesarkan di Karangasem, Bali Timur, saya sering membantu ibu berjualan daun pisang, canang atau buah di sebuah kios kecil di pasar dan juga membantu mencari rumput untuk pakan ternak sapi. Ayah saya juga masih sebagai tumpuan utama dalam membantu perekonomian kami.
Lalu, ketika saya baru menginjak 12 tahun, kehidupan kami seketika berubah.
Waktu itu, ayah dan adik laki-laki saya sedang bekerja di ladang, sedangkan saya sedang membantu ibu berjualan di pasar, kemudian tetangga memberi tau bahwa ayah saya baru saja terjatuh dari pohon nangka. Kami bergegas untuk memeriksa dan mencari tau apa yang terjadi dan saya teringat ketika ayah berkata bahwa dia tidak bisa merasakan bagian tubuh dari pinggang kebawah. Pertama kali mendengar hal tersebut saya sangat cemas dan sedih memikirkan kemungkinan terburuk yang akan menimpa ayah. Saya waktu itu belum menyadari bahwa ayah telah menjadi lumpuh permanen.
Kami membawa ayah ke sebuah tempat pengobatan yang terletak di Besakih tetapi mereka tidak mau menerima karena merasa belum ada orang yang mampu menangani kondisi ayah. Akhirnya kami memutuskan untuk membawa ke rumah paman di Denpasar dan selama berada di Denpasar, dia juga bisa mendapat pemeriksaan di Rumah Sakit Sanglah.
Hari itu merupakan hari dimana saya mengetahui bahwa ayah menderita kelumpuhan permanen akibat dari rusaknya syaraf tulang belakang setelah terjatuh dari pohon. Segalanya berubah drastis setelah itu. Diumur 12 tahun, saya harus belajar menjadi dewasa dan menerima keadaan begitu cepat. Ayah dan Ibu sementara masih tetap tinggal di rumah paman di Denpasar selama beberapa bulan sementara saya dan adik saya harus tinggal berdua di rumah kami yang di desa. Setiap malam menjelang, nenek kemudian datang untuk menginap di rumah kami.
Menjadi dewasa begitu cepat
Saya harus cepat belajar untuk berpikir layaknya orang dewasa. Itu merupakan masa yang sangat sulit bagi kami berdua. Saya belum terdaftar untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama dan harus melakukannya sendiri, sehingga saya tidak tertinggal untuk melanjutkan pendidikan.
Mengatur keuangan keluarga juga menjadi bentuk tanggung jawab lainnya. Setiap minggu, orang tua kami memberikan uang yang dititipkan melalui paman, sehingga saya bisa memenuhi kebutuhan untuk konsumsi sehari-hari untuk berdua. Saya harus benar-benar mengatur uang tersebut sebaik baiknya. Saya melakukan itu selama 6 bulan sampai orang tua akhirnya pulang kembali ke rumah.
Setelah kecelakaan yang menimpa ayah, dia kembali ke rumah sebagai sosok yang berbeda.
Ketika ayah kembali ke desa, dia tidak mampu berjalan atau bahkan bergerak dan tanpa alat bantu. Dia hanya mampu berbaring di tempat tidur di kamarnya. Itu merupakan masa yang sangat sulit bagi dirinya dan kami semua.
Sebelum kecelakaan, ayah merupakan seorang yang sangat aktif beraktifitas dan juga berbicara. Dia akan merasa kurang nyaman jika berdiam diri, karena ketika diam dia akan merasa cemas tentang semuanya. Jika tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan, dia akan berusaha mencari aktivitas lainnya seperti membersihkan pekarangan di rumah. Dia merasa kurang nyaman jika hanya duduk tanpa melakukan apa-apa. Tapi setelah kecelakaan dan menjadi lumpuh dan tinggal jauh selama beberapa bulan, dia menjadi sosok yang pendiam tanpa banyak berbicara ketika kembali ke rumah.
Selama bertahun-tahun berbaring di kasur, timbul beberapa luka akibat dari tidak bisa sering menggerakan badan atau untuk sekedar berpindah posisi dalam waktu yang lama. Selain itu, bekas jarum suntik dari dokter juga kelamaan menjadi luka terbuka. Itu membuat keadaan makin memburuk.
Sekarang ayah saya telah kembali ke rumah, dan saya memfokuskan diri untuk merawat ayah. Saya membantu membersihkan badan dan menyiapkan makanan untuknya. Waktu itu, ibu saya bisa kembali mengatur keuangan keluarga.
Menyesuaikan hidup tanpa sosok seorang Ibu
Ketika saya berumur sekitar 17 tahun, Ibu memutuskan untuk berpisah dengan keluarga. Saya sangat putus asa dan begitu juga dengan keluarga.
Sebelum meninggalkan kami, ibu memberikan semacam kode ke saya dengan mengatakan bahwa selanjutnya saya harus merawat ayah dengan baik dan ketika saya bertanya,”kenapa Ibu bilang seperti itu,” dia merespon bahwa itu bukan apa-apa dan meminta agar saya tetap merawat ayah.
Suatu hari, ketika saya masih berada di sekolah, saya mendapat informasi dari sepupu bahwa Ibu saya memutuskan untuk meninggalkan rumah dan berpisah dengan ayah. Ketika saya sampai di rumah untuk memastikan ternyata kabar tersebut benar. Itu sekitar 6 tahun setelah ayah menjadi lumpuh.
Saya sangat sedih, bingung dan cemas tentang masa depan dan siapa yang akan merawat ayah dan kami. Ayah juga merasa sangat sedih dan kecewa, itu merupakan masa yang begitu sulit bagi kami semua.
Kami mulai berpikir serius tentang masa depan dan bagaimana cara untuk menghidupi diri kami sendiri.
Harapan baru ayah setelah menerima kursi roda dari PUSPADI Bali
Masa-masa awal setelah Ibu meninggalkan kami, Bibi bersedia membantu kami untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Saya tetap berpikir untuk fokus merawat ayah dan untuk penghasilan, kami akan menjual buah salak dari pohon di kebun kami. Begitu juga uang yang saya hasilkan dari kompetisi panjat tebing , saya menggunakannya sebagai sumber penghasilan tambahan untuk membantu ayah dan keluarga.
Suatu hari, Pak Latra dan PUSPADI Bali staff mendengar tentang apa yang dialami ayah saya melalui salah satu tokoh masyarakat di tempat tinggal saya dan mereka memutuskan berkunjung ke rumah. Mereka melihat ayah saya berada dalam kondisi yang sanagt memprihatinkan, jadi mereka memutuskan untuk menyediakan sebuah kursi roda untuk ayah dan menyanggupi untuk membantu kami lebih banyak.
Sebelum PUSPADI Bali menemukan kami, Saya berencana untuk tidak melanjutkan pendidikan ke bangku SMA karena saya dibutuhkan dan ingin fokus merawat ayah. Pak Latra dengan gigih meyakinkan dan menginginkan saya agar kembali melanjutkan sekolah serta memfasilitasi agar saya bisa mendapat beasiswa pendidikan di bidang keperawatan. Itu juga merupakan apa yang saya inginkan agar saya bisa belajar bagaimana menjadi seorang perawat untuk merawat ayah saya.
Selama 3 tahun, saya menjalani pendidikan di SMK dengan jurusan keperawatan dan mendapat beberapa kali training di Rumah Sakit lokal. Saya belajar banyak dari senior staf tentang bagaimana menggunakan jarum suntik, membersihkan luka dan mengaplikasikan pengetahuan ini langsung ketika merawat ayah seperti membersihkan luka.
Semenjak ayah menerima kursi roda dari PUSPADI Bali dan para staff juga membantu kami membangun rumah yang aksesibel lalu kemudian ayah juga diberikan sebuah motor yang aksesibel dari berbagai penyumbang di Bali dan luar Bali – kehidupan kami berangsur angsur membaik.
Ayah mulai berusaha mengembangkan usaha untuk mendapatkan penghasilan yang berkelanjutan, dan akhirnya memutuskan untuk membuka sebuah warung di depan rumah yang masih berjalan sampai saat ini.
Siapa saya sebelumnya dan menjadi apa yang saya inginkan: membantu penyandang disabilitas lainnya
Semenjak Desember tahun lalu, saya telah bekerja sebagai teknisi di PUSPADI Bali yang bertugas membantu merakit alat bantu untuk kaki. Saya mulai bekerja disini setelah menyelesaikan 6 bulan studi dan training di bidang terapi kinesiology di Jakarta, dengan support dari Pak Latra.
Bekerja di PUSPADI Bali memberikan saya kesenangan dan kebahagiaan karena mereka telah membantu ayah saya dan sekarang saya bisa membalasnya dengan ikut membantu penyandang disabilitas yang lainnya.
Saya senang saat bisa ikut berkunjung atau turun langsung ke lapangan untuk bertemu langsung dengan penyandang disabilitas. Namun, saya juga menyadari dan melihat bahwa diluar sana masih banyak penyandang disabilitas yang kondisinya jauh lebih parah dari kondisi ayah saya. Saya merasa bersyukur bahwa sekarang ayah saya sudah mandiri dan ingin yang lainnya juga bisa seperti dia.
Ketika saya pulang ke rumah, saya sering berbagi cerita dengan ayah tentang penyandang disabilitas yang saya temui ketika bekerja, dan itu memotivasi ayah saya. Saya memberi tau bahwa diluar sana banyak orang dengan kondisi yang sama seperti ayah dan kita beruntung karena ayah berada di kondisi yang lebih baik dari mereka serta bagaimana PUSPADI Bali membantu mereka. Melalui perbincangan tersebut, ayah saya mendapat semangat untuk menjadi lebih baik.
Saya menilai bahwa masih banyak kebutuhan untuk membantu penyandang disabilitas. Ketika mendengar penyandang disabilitas membutuhkan sesuat, secara spontan saya ingin segera membantu mereka.
Saat ini saya merasa berada di tempat yang seharusnya dan itu membuat saya senang.
“Saya berharap okta akan mampu untuk mencapai kesuksesannya dan menjadi apa yang dia inginkan”
Ayah dari Okta, Darma, tidak kuasa menahan kebahagiaan dan kebanggaannya terhadap seorang anak perempuan, yaitu anaknya sendiri.
“Okta sangat dekat dengan saya dan sering bercerita tentang aktifitasnya, teman-temannya, pekerjaannya, dan lain-lain. Dia begitu tangguh. Itu terbukti ketika dia mengemban tanggung jawab yang begitu besar, melaumpaui bayangannya ketika masih anak-anak. Dia telah melalui masa-masa yang begitu sulit karena saya, semenjak berumur 12 tahun. Saya berharap dia akan mampu untuk mencapai kesuksesannya dan menjadi apa yang dia inginkan.”